Antara Aku, Jeksen, dan Hujan

Berteduh

Sore ini seperti biasa, waktu menunjukan pukul 16.00 yang artinya aku harus bergegas absen sambil menuju loker mengambil perabotan lenong. Ku tengok awan mulai gelap, hujan rintik-rintik yang di iringi lari marinir menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan langit di hiasi kilat dan gledek, ku pacu Jeksen menuju langit ke tujuh, speedometer mati, tapi bila Jekson mulai bergetar tandanya mungkin 85 atau 90km per jam.

Byuuurrrr...

Tapi apalah daya, duel ini akhirnya di menangkan oleh hujan yang duluan mengguyur kuyup jaket Real Madrid ku. Hujan meng-kepret-kepret tipis wajah tanpa perlawanan, aku kalah telak akibat helm honda ku tanpa visor ala-ala caferacer, hehe. Lalu ku tenangkan Jekson, menggiringnya ke pinggir untuk berteduh.

Kegiatan berteduh ku isi dengan main hape, ku lucuti instageram isinya isu, asu, susu. Hmmm, ku pikir menunggu dengan main hape adalah ide yang bagus, namun ternyata tidak. Akhirnya ku nyalakan rokok menghempaskannya ke langit kanopi ruko sambil berkontemplasi diantara jejeran manusia rewel yang memaknai hujan dengan ngobrol.

Ssssspppp... Hhhhaaahhh...

Aku menarik nya dengan seksama, dengan tempo yang tidak beraturan, sampai ku berfikir kalau menunggu hujan adalah kebosanan yang di paksa harus, bahwa sehat tak selalu terdefinisikan bergerak jika diam adalah berteduh.

Di sela-sela imajinasi yang mulai ngaco, inisiatif ku dengarkan lagu-lagu The Upstairs, serbuan hujan menyatu dengan irama disko.

"Double discman, baterai dua A Speaker aktif jaman sekarang Mixer hijau second hand Tata lampu tujuh belasan Berdansa"


Sekiranya jam lima sore, hujan baru agak reda, ku ajak lagi Jeksen mengarungi dunia. Sebab sebelum maghrib berkumandang aku harus segera pulang, takut di culik wewe goms.

Komentar

Postingan Populer